KPK Sebut Korupsi Takkan Selesai Jika Hanya Ditakuti

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, kasus korupsi tak akan selesai bila hanya ditakuti dengan ditangkap. Sebab, dari situ para koruptor hanya akan berpikir bagaimana melakukan korupsinya tanpa tertangkap.

"Bagi orang yang tak korupsi karena takut untuk ditangkap, maka kemudian yang terpikir bagaimana bisa korupsi tapi tidak tertangkap," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, pada Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Harkodia) di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Jakarta, Senin (11/12/2023).

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron


Ghufron mengatakan, pada posisi inilah pentingnya peringatan Harkodia terus dilakukan. Peringatan itu, menurutnya, merupakan simbol dan tonggak semangat antikorupsi masih dipegang teguh pemerintah, dalam hal ini KKP, pada kerja-kerjanya.

Ia meyakini visi KKP ingin menjadikan Indonesia Sejahtera lewat program Ekonomi Biru hanya akan tercapai jika bersih dari korupsi. Ia pun mengambil perumpamaan, korupsi layaknya kanker yang menyerang tubuh manusia, sehingga penyakit tersebut harus dibuang agar tubuh menjadi sehat. 

Menurut Ghufron, tujuan memiliki tubuh yang sehat itu tidak akan tercapai bila manusia bertoleransi dan beradaptasi dengan kanker tersebut.

"Korupsi adalah penggagal mimpi dan komitmen cita-cita KKP untuk mewujudkan Indonesia berekonomi biru. Kalau paham mimpinya ekonomi biru, maka ekonomi biru hanya akan tercapai kalau penyakit yang akan menggagalkan itu dibuang," ujarnya.  

Lebih lanjut, Nurul Ghufron mengajak lewat semangat antikorupsi ini agar bergeser menggunakan strategi baru. Yaitu perilaku korupsi bukan untuk ditakuti, tetapi harus dianggap dan disadari untuk ditingalkan bersama.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai pemberantasan korupsi di Indonesia perlu di evaluasi total. Demikian dikatakannya saat membuka Puncak Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) Tahun 2023 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (12/12/2023). 

Awalnya Presiden Jokowi bercerita banyaknya temuan kasus korupsi di Indonesia dibandingka negara lain. Berdasarkan catatannya, sepanjang 2004-2022 terdapat ribuan orang terdiri dari pejabat negara, swasta, hingga birokrat yang dipenjarakan akibat korupsi.

"Ada 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD, 334 termasuk Ketua DPR dan juga ketua DPRD. Ada 38 menteri dan kepala lembaga, ada 24 gubernur, dan 162 bupati dan walikota," ujarnya.

"Ada 31 hakim, termasuk Hakim Konstitusi, ada 8 komisioner, diantaranya Komisioner KPU, KPPU, dan KY. Juga ada 415 dari swasta dan 363 dari birokrat, terlalu banyak, banyak sekali."

Presiden pun mengatakan, dengan banyaknya pejabat yang dipenjarakan, kasus korupsi di Indonesia masih tetap banyak. Oleh karena itu, menurutnya semua pihak mengevaluasi total agar kasus korupsi di Indonesia menurun.

"Saya setuju apa yang disampaikan Ketua KPK, pendidikan, pencegahan, penindakan (untuk cegah korupsi). Tapi ini ada sesuatu yang memang harus di evaluasi total," ucapnya.

Presiden Jokowi juga menilai hukuman penjaran ternaya tidak membuat koruptor semakin jera. Terlebih, korupsi sekarang ini semakin canggih, kompleks, bahkan hingga lintas negara dan multi yuridiksi serta menggunakan teknologi mutakhir.

"Oleh sebab itu kita butuh upaya bersama yang lebih sistemik, butuh upaya bersama yang lebih masif. Memanfaatkan teknologi terkini untuk mencegah tindak pidana korupsi," katanya.

"Kita butuh perkuat sistem pencegahan, termasuk memperbaiki kualitas SDM, aparat penegak hukum. Sistem pengadaan barang dan jasa, sistem perizinan, pengawasan internal dan lain-lain." (*)

Posting Komentar