Kesenian Tradisional Tutunggulan Sebagai Alat Musik Tradisional

Kesenian Tradisional Tutunggulan
Penulis : Difya Rosyanti

Kabar Karawang - Seni tutunggulan ini merupakan sebuah kesenian tradisional yang unik, dimana alat musik utama yang digunakan hanya halu dan lesung. Tutunggulan ini sudah ada sejak lama, awalnya itu hanya alat penumbuk padi, namun saat ini menjadi alat kesenian. 


Seperti yang diungkap oleh Kiki Kurnia dalam skripsi Ananda (2010) “kata tutunggulan berasal dari kata nutu yang berarti menumbuk sesuatu, sesuatu yang ditumbuk itu biasanya padi atau gabah kering sehingga menjadi beras”. Tutunggulan muncul dari kebiasaan masyarakat dalam menumbuk padi. Kegiatan menumbuk padi ini dilakukan menggunakan lesung dan halu secara beriringan sehingga menimbulkan benturan bunyi yang berirama.


Kesenian tradisional Tutunggulan yang ada di Purwakarta memiliki fungsi yang sama dengan kesenian tutunggulan yang ada di Jawa Barat, yang terus mengalami pergeseran fungsi sesuai perkembangan zaman. Masyarakat Purwakarta sebagian besar adalah masyarakat agraris yang tradisional. Mata pencaharian mereka sehari-hari dari hasil pertanian. Seni Tutunggulan lahir di daerah agraris yang berawal dari kebiasaan masyarakatnya menumbuk padi dengan menggunakan halu dan lisung.

Kesenian tradisional Tutunggulan yang dikenal bersifat ritual dan sakral mulai tergeser sedikit demi sedikit hingga kehilangan fungsinya. Hal ini bukan berarti membuat Kesenian Tutunggulan punah begitu saja, ada berbagai Kesenian Tutunggulan yang masih menunjukan keberadaanya dan secara kreatif terus berkembang tanpa harus terkikis oleh modernisasi.

“Awalnya lesung itu alat tumbuk padi. Sejalan dengan modernnya jaman lesung itu diarahkan sebagai alat kesenian. Yang dipake untuk menyambut tamu kalau ada pernikahan, dan hari-hari perayaan,” tutur Ihwanudin, Kepala Desa Cibuntu Kec, Wanayasa Kab. Purwakarta (28/07/22).

Ia juga mengatakan, Tutunggulan ini bisa menjadi alat kesenian pun memiliki cerita yang unik. Pada jaman dahulu ketika petani sedang menumbuk padi mereka memiliki beberapa lagu untuk mengisi waktu istirahatnya dengan diiringi alat tutunggulan ini.

“Iya, disela-sela numbuk padi untuk istirahat mereka punya beberapa lagu yang, memang diiringi dengan pukulan,” ucap Kepala Desa, Ihwanudin saat diwawancarai terkait seni tutunggulan (28/07/22).

Alat yang digunakan untuk menumbuk padi biasanya pada zaman dahulu memakai halu dan lisung. Halu berbentuk seperti tongkat, memiliki panjang kurang lebih 160 cm, diameter atas 4 cm, dan diameter bawah 5 cm. Berdasarkan ukuran tersebut, bentuk halu lebih besar kebawah dan lebih kecil keatas. Ukuran tersebut bertujuan untuk menghaluskan memiskan padi dari gabah. Lisung berasal dari talompak, yaitu kayu berlubang, berfungsi sebagai alat penumbuk padi. Dari kebiasaan menumbuk padi tersebut kesenian tutunggulan ini muncul.

Jumlah pemain dalam kesenian tutunggulan berjumlah 4-8 orang, disetiap pertunjukannya salah satu pemain berfungsi sebagai indung, yang fungsinya sebagai pimpinan dalam penyajian. Ratarata para pemain yang didominasi oleh perempuan ini berusia 45-80 tahun. 

Biasanya pertunjukan bertempat di lapangan terbuka. Umumnya satu pertunjukan kesenian tutunggulan berdurasi 10-15 menit dan biasanya memainkan enam buah lagu. Ibu-ibu pemain kesenian tutunggulan biasanya latihan setiap hari pada pukul empat sore, dan latihan tutunggulan biasanya dilakukan di balai desa. Dan pada saat penampilan kesenian tutunggulan ibu-bu pemain tutunggulan menggunakan pakaian kebaya.

Kesenian Tradisional Tutunggulan


Pada masa ini juga kesenian tutunggulan sering dipakai untuk menyambut calon mempelai laki-laki (mapag panganten), menyambut pengantin sunat pada khitanan. Dan ini kerap kali saat ada acara di kecamatan atau di kabupaten selalu diundang.

Dosen Pembimbing Lapangan : Jojor Renta Maranatha, M.Pd.

Posting Komentar