Pria yang Ditangkap Saat Demo 21 April: Leher Dipiting dan Ditendang
Syahdan Husein ditangkap polisi saat demo 21 April 2022 yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia atau BEM UI dan Aliansi Mahasiswa Indonesia di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat.
Polisi menyebut Syahdan sebagai provokator yang menyusup pada demo mahasiswa. Dia pun menerima perlakuan kasar oleh polisi. Setelah sempat ditahan, kini alumni Universitas Gadjah Mada atau UGM itu telah dibebaskan.
Pria yang pernah menempuh jurusan Sastra Indonesia di UGM itu mengungkapkan peristiwa yang terjadi setelah ia ditangkap polisi. Dia ditendang dan dipukul oleh aparat yang menangkapnya.
"Leher saya dipiting, terus ditendang pantat belakang saya, saya jalan dipaksa gitu terus baru diteriakin sama polisi itu provokator nih," kata Syahdan dalam wawancara khusus dengan Tempo, Ahad, 24 April 2022.
Selanjutnya wawancara lengkap dengan Syahdan Husein...
123 Selanjutnya
Berikut wawancara Syahdan Husein seputar peristiwa penangkapannya dan pandangan dia soal gerakan mahasiswa.
Apa kabarnya saat ini mas?
Baik, Alhamdulillah...
Bisa diceritakan soal peristiwa penangkapan Anda saat demo 21 April?
Saat itu saya ditanya dulu, dari mana? Saya bilang saya dari rakyat. Rakyat mana? Ya, rakyat Indonesia gitu. Leher saya langsung dipiting, terus ditendang pantat belakang saya. Saya jalan dipaksa, terus diteriakin polisi, provokator nh. Lalu saya diseret ke mobil polisi.
Setelah turun dari mobil polisi dan tiba di Posko (Posko Polisi di Monas). Saya merasakan luka di bagian belakang dada saya, pinggang bawah. Saat berjalan, tiba-tiba dipukul nih oleh orang berseragam, tinggi gitu orangnya karena dia lewat aja, mau lewat ceritanya, tapi sengaja.
Dia pukul belakang kuping saya sebelah kiri. Sampai sekarang saya masih sulit mendengar. Sekarang saya mau ke rumah sakit untuk periksa. Saat itu saya bilang, siapa yang mukul, tapi mereka sengaja ngumpetin. Di dalam Monas itu semua isinya polisi, tidak ada media. Di situ saya berdebat dengan polisi soal kesalahan saya apa, tapi enggak ada yang bisa jawab. Mereka hanya bilang, enggak boleh (demo) karena saya bukan mahasiswa lagi.
Saya mencoba menghubungi kawan-kawan untuk ke lokasi untuk mendampingi saya, tapi handphone saya enggak dikasih, mau ditahan.
Apakah Anda mengalami kekerasan juga saat di dalam Posko di Monas?
Saya dipukulin, dikerubutin juga di dalam pos itu tapi saya lawan, saya enggak takut. Melawan dengan hak-hak saya untuk menyatakan pendapat. Dan saya ini melakukan apa, provokasi apa, apa salahnya gitu saya bukan mahasiswa. Saya juga tergabung gerakan Blok Politik Pelajar.
(Sebelumnya Blok Politik Pelajar menyebut Syahdan yang ditangkap saat demo 21 April adalah anggota mereka. Karena itu mereka meminta agar dia dilepaskan).
Apakah betul pernyataan polisi jika Anda melakukan provokasi?
Mungkin itu dianggap provokasi ya oleh polisi, tapi itu bagian dari protes saya sih. Sudah beberapa tahun lalu gerakan mahasiswa ini telah membajak gerakan lainnya, sehingga hanya gerakan mahasiswa saja yang dianggap sebagai perwakilan dari gerakan yang ada.
Begitu juga turunnya rezim Soeharto gitu, bahwa dianggap kekuatan mahasiswa adalah kekuatan yang netral dan paling suci sehingga gerakan-gerakan pemuda lainnya mulai tersingkir. Saat ini, saya lihat rakyat sendiri saja sudah kehilangan politik.
Maksudnya?
Rakyat dianggap berpolitik, ya harus masuk partai politik. Sementara partai politik, tidak berpolitik untuk rakyat. Dia politik elite borjuasi, oligarki, dan kepentingan koorporasi.
(Syahdan mencontohkan soal RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS yang berlarut - larut dibahas di DPR dan baru saja disahkan setelah gerakan masyarakat sipil melakukan berbagai aksi di jalan).
Contoh lain?
Ada RUU Omnibus Law dan revisi UU KPK yang datangnya langsung dari partai politik tanpa melibatkan rakyat untuk berpartisipasi. Ini karakter partai politik saat ini. Nah muncul juga partai mahasiswa yang tak jelas muncul dari mana.
Jadi Anda tak sepakat jika yang boleh melakukan unjuk rasa saat ini hanya mahasiswa saja?
Oleh kekuasaan sekarang, mahasiswa dianggap sebagai representasi politik rakyat. Nah ini yang bahaya. Jadi ketika saya sudah lulus kuliah, tidak punya kartu mahasiswa lagi, ketika turun ke jalan dianggap provokator? Nah ini menjadi persoalan.
Tapi ketika Gejayan Memanggil di Yogya, saya tidak mau itu ada bendera atau apa, tapi ketika orang mau memakai almamater silahkan gitu. Yang tidak pakai almamater bukan berarti tidak bisa masuk barisan.
Jadi banyak sekali testimoni yang mengatakan gerakan mahasiswa kini sudah terpisah dari gerakan rakyat itu sendiri. Saya tak masalah dengan gerakan mahasiswa. Tapi yang menjadi masalah, yang membeda-bedakan yang mengotak-kotakan itu, dan itu sepertinya dikelola gitu oleh penguasa. Itu bentuk kekecewaan saya, dan tiu tak hanya terjadi di Jakarta.
Ada informasi Anda kemarin ingin ikut berorasi dalam demo?
Salah itu, ngaco. Itu maksudnya kawan-kawan semua mahasiswa. Maksudnya bukan mahasiswa ya, kawan-kawan saya juga. Maksudnya saya masuk barisan kawan-kawan DPP yang ikut aliansi mahasiswa tersebut. Aliansi Mahasiswa Indonesia, AMI, saya ikut konsolidasinya juga tapi enggak ada pembicaraan bahwa masyarakat tak boleh ikut bergabung dalam barisan mahasiswa.
Bukan berarti saya ingin orasi, terus engga dikasih, bohong itu. Atau apa. Saya menyatakan protes saja gitu, langsung di lapangan. Karena selama ini karakter elit mahasiswa itu sudah memuakkan gitu, bisa gampang disetir baik oposisi atau pro rezim, artinya gak mempunyai basic ideologis yang jelas gitu.
Apakah akan mengambil langkah hukum soal kekerasan aparat yang menimpa Anda?
Saya enggak melapor. Sebenarnya saya punya hak, tapi saya memilih untuk tidak melaporkr, ya karena saya disibukkan dengan kegiatan saya sebagai anak muda yang harus membaca buku, menulis atau berdiskusi. Kalau melapor polisi itu prosesnya panjang ya.
Saya lebih penting proses mengobati aja sih, daripada proses pelaporan karena orang-orang itu wataknya seperti itu.
Soal pernyataan polisi tidak ada kekerasan?
Ya, itu sangat berbohong dan ketika misalkan beberapa orang berbohong harus dituntut sebagai hoax itu dan diadili harusnya dicopot itu yang berkata itu yang berkata seperti itu. Bilang tidak ada kekerasan, pembohongan publik itu. Kalau memang berbohong harus dicopot harus disanksi.(*)
Sumber: Tempo