Kejagung Ajukan Peninjauan Kembali Putusan Bebas Fakhri Hilmi

Jaksa Agung RI melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) terkait mantan Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2014-2017, Fakhri Hilmi.

Kejagung Ajukan Peninjauan Kembali Putusan Bebas Fakhri Hilmi

Fakhri divonis bebas di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung ihwal kasus korupsi Rp16 triliun Jiwasraya.

"Bahwa terhadap putusan tersebut, Jaksa Agung RI mempertimbangkan usulan Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum yaitu peninjauan kembali," ungkap Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana, dikutip Selasa, 12 April 2022.

Hal itu, kata Ketut, berdasarkan kewenangan Kejaksaan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. "Di mana Kejaksaan RI dapat mengajukan peninjauan kembali," ujar Ketut.

Adapun dalam Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, terdakwa Fakhri dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana di dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Namun, dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung, terdapat pertimbangan hukum yang berbeda. Terdakwa Fakhri dinyatakan tidak terbukti atau lepas dari segala tuntutan hukum.

"Bahwa dalam Putusan Kasasi MA yang membebaskan Terdakwa FH, ada perbedaan pendapat di antara hakim yang mengadili maupun memeriksa," ucapnya.

Saat memutuskan perkara, terjadi dissenting opinion, yakni salah satu majelis hakim menyatakan Fakhri terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam putusannya, Hakim MA menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya karena berkesimpulan bahwa terdakwa Fakhri telah melaksanakan Standard Operating Procedure (SOP) secara benar.

Padahal, lanjut Ketut, apabula Fakhri telah benar melaksanakan Standard Operating Procedure (SOP), maka tidak terjadi kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya.

Kemudian, Fakhri mengeklaim tidak memberikan sanksi secara tegas atas hasil pengawasan yang dilakukan sehingga menyebabkan kerugian selama 10 tahun. Sehingga terakumulasi sebesar Rp16,8 Triliun.

"Dalam rangka untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali, Kejaksaan akan terlebih dahulu mempelajari dan mengkaji putusan tersebut setelah menerima putusan lengkapnya dari Mahkamah Agung," ujar Ketut.(medcom)

Posting Komentar