Helllooo... Pak Kemenag , Banyak Oknum Amil di Karawang Menahan Buku Nikah

Saat ini banyak aduan dari warga kepada pihak desa atau lembaga sosial masyarakat berkaitan perkara banyaknya buku nikah yang belum diberikan oleh oknum-oknum keamilan, dan diduga dibantu "oleh oknum petugas KUA di salah satu Kecamatan" di Kabupaten Karawang.(1/3/2021).
Foto Buku Nikah

Perkara dilingkungan kementerian agama Karawang tersebut bukan hanya sebatas buku nikah yang belum diberikan oleh oknum petugas, juga tentang besaran biaya pernikahan yang dinilai telah melampaui batas kewajaran atau peraturan yang diberlakukan saat sekarang.

Misal untuk pernikahan diluar kantor KUA bisa kenakan harga 1.5 juta oleh oknum petugas keamilan.Modus pelaku kepada calon pengantin atau warga dengan biaya sekian untuk buku nikah bisa diberikan pada saat akad beres.Padahal aturan sudah mewajibkan setiap ada pernikahan buku nikah wajib diberikan kepada pasangan pengantin tanpa cerita harus tambah biaya itu dan ini.

Permasalahan dilingkungan kementerian Agama tersebut sudah sejak lama menjadi rahasia umum di Kabupaten  Karawang namun akhir-akhir ini malah menjadi-jadi.

Kabar ini diturunkan H.Dadang R Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Karawang belum bisa dikonpirmasi awak media 

Kabar awal, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Dirjen Bimas Islam, Machasin menegaskan bahwa sampai saat ini kementerian tersebut tidak pernah mengumumkan adanya biaya tambahan pernikahan karena hal itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2014.

Penegasan tersebut disampaikan untuk memastikan bahwa kini tidak ada lagi pungutan biaya (gratifikasi) di luar ketentuan, kata Machasin.

Machasin sebelumnya mengakui bahwa di berbagai daerah, dalam hal pembayaran nikah, prosedurnya jika menikah di luar kantor urusan agama (KUA) dikenai tarif Rp600.000. Itu tarif resmi yang harus dibayar melalui bank yang telah ditunjuk.

Tetapi pada praktiknya ada pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan keluarga pasangan pengantin itu bahwa pengurusan pembayaran diwakilkan kepada petugas kelurahan atau pihak lainnya. Oknum ini kemudian minta pembayaran di atas tarif resmi antara Rp800.000 atau lebih. Padahal pembayaran ke bank dapat dilakukan secara langsung dan tanda bukti diperlihatkan kepada KUA terdekat.

"Kita prihatin dengan kasus ini," kata Machasin.

Terkait upaya menghindari gratifikasi tersebut, Ditjen Bimas Islam mengeluarkan penjelasan tentang alur pelayanan nikah sesuai dengan yang diatur dalam PP No 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Machasin mengatakan, PP 48/2004 mengatur bahwa biaya pernikahan hanya terbagi menjadi dua, yaitu pertama gratis atau nol rupiah jika proses nikah dilakukan pada jam kerja di KUA; dan kedua dikenakan biaya enam ratus ribu rupiah jika nikah dilakukan di luar KUA dan atau di luar hari dan jam kerja.

"Tidak ada biaya lain yang harus dikeluarkan oleh calon pengantin di luar yang sudah ditentukan oleh peraturan tersebut. Pungutan biaya di luar yang sudah ditentukan bisa dimasukan dalam kategori gratifikasi," tegas Machasin.

Berikut ini alur pelayanan nikah. Pertama, calon pengantin mendatangi RT/RW untuk mengurus surat pengantar nikah untuk dibawa ke kelurahan. Kedua, calon pengantin mendatangi kelurahan untuk mengurus surat pengantar nikah (N1 - N4) untuk dibawa ke KUA (Kecamatan).

Disebutkan, jika pernikahan dilakukan di luar Kecamatan setempat, maka calon pengantin mendatangi KUA (Kecamatan) setempat untuk mengurus surat pengantar rekomendasi nikah untuk dibawa ke KUA (Kecamatan) tempat akad nikah.

Jika waktu pernikahan kurang dari 10 hari kerja, maka calon pengantin mendatangi Kantor Kecamatan tempat akad nikah untuk mengurus surat dispensasi nikah.

Ia menjelaskan,bahwa pelayanan pencatatan nikah merupakan salah satu target reformasi birokrasi di lingkungan Ditjen Bimas Islam yang dilakukan melalui pendekatan sistemik. Hal itu penting mengingat persoalan gratifikasi KUA dan maraknya pelaksanaan nikah sirri di tengah masyarakat akhir-akhir ini menjadikan Kemenag, khususnya Ditjen Bimas Islam harus melaksanakan berbagai upaya menyelesaikan persoalan ini.

Menurut Machasin, KUA sebagai lembaga pencatat perkawinan memiliki fungsi penting untuk mewujudkan kemaslahatan umum, khususnya kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi keluarga Muslim terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perkawinan. Selain melayani proses administrasi perkawinan, kerja KUA juga berhubungan langsung dan bahkan hidup bersama dengan tradisi dan norma masyarakat.**yt
إرسال تعليق