Bawaslu Akui Ada Calon Petahana yang Politisasi Bansos

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan selama penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020, terdapat kepala daerah yang terindikasi menggunakan dana penanganan pandemi Coronavirus Disease 2019 (covid-19) untuk kepentingan pencalonan. Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan Bawaslu menerima laporan di beberapa daerah, yang kini sudah dikaji dan ditindaklanjuti pada persidangan terpenuhi unsur-unsur penyalahgunaan wewenang, terutama dalam kegiatan kampanye bantuan sosial. Pihaknya, lanjut Abhan, telah memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendiskualifikasi sejumlah pasangan calon kepala daerah tersebut.

"Penyalahgunaan wewenang menjadi bagian dari unsur korupsi. Kami sudah melakukan tindakan merekomendasikan KPU diskualifikasi, ada beberapa daerah yang kami sudah kami lakukan terkait pelanggaran politisasi bantuan penanganan Covid-19 ataupun yang lain yang sifatnya masuk pasal 71 ayat 1,2,3 Undang-Undang No. 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah," ungkap Abhan dalam acara Webinar Nasional Pembekalan Seluruh Pasangan Calon dan Penyelenggara Pemilu di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Selasa (20/10).

Hadir dalam acara itu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, dan Pelaksana Harian Ketua KPU Ilham Saputra.

Pasal 71 UU Pilkada mengatur larangan petahana untuk menyalahgunakan kekuasaan termasuk netralitas aparatur sipil negara (ASN). Pilkada yang dilangsungkan di tengah pandemi, imbuh Abhan, membuka potensi bagi para calon kepala daerah terutama petahana untuk melakukan politisasi bantuan sosial.

Temuan Bawaslu, ungkap Abhan, menemukan bantuan sosial yang berasal dari anggaran negara yang diberikan foto calon kepala daerah, atau simbol partai politik tertentu. Oleh karena itu, ia mengingatkan para calon kepala daerah untuk tidak melakukan penyalahgunaan anggaran penanganan covid-19.

"Tidak hanya melanggar ketentuan UU Pilkada saja tapi kalau sudah menyangkut penyalahgunaan anggaran menyalahi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," ucapnya.

Selain itu, dilangsungkannya pilkada di tengah pandemi menurutnya juga membuka celah praktik politik uang yang dilakukan calon. Ia mengingatkan UU Pilkada sudah mengatur sanksi pidana yang lebih tegas dibandingkan dengan UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No.42/2018 tentang Pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Dalam UU Pilkada, sanksi pidana dikenakan pada kedua belah pihak baik pemberi (calon, tim sukses, dan lain-lain) serta penerima politik uang.

"UU Pilkada mengatur berupa sanksi pidana yang bisa dikenakan pada kedua belah pihak baik pemberi maupun penerima. Kalau UU pilpres hanya bisa digunakan pada pemberi," papar Abhan.

Sanksi bagi para calon yang terbukti melakukan politik uang tidak hanya pemidanaan. Bawaslu, terang Abhan, juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan ajudikasi terhadap dugaan politik uang yang mana, sanksinya putusannya berupa diskualifikasi mana kala politik uang terbukti dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Dampak politik uang, ujarnya, dapat mempengaruhi integritas pilkada antara lain melecehkan kecerdasan pemilih, merusak demokrasi dan meruntuhkan harkat kemanusiaan. Di samping itu, politik uang dapat mematikan kaderisasi politik, sebab kepemimpinan bukan berbasis kualitas, melainkan pada calon yang memiliki uang banyak. Karenanya, Bawaslu mengajak masyarakat sebagai pemilih, penyelenggara pilkada, dan para calon untuk bersama-sama menjalankan seluruh tahapan pilkada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, bagi penyelenggara, ia menegaskan untuk selalu berpegang pada kode etik dalam penyelenggaraan pemilihan. Penyelenggara, tegasnya, harus adil, objektif, independen, tidak memihak pada calon. Adapun pasangan calon harus menaati mekanisme dan prosedur pelaksanaan baik diatur dalam UU Pilkada atau Peraturan KPU.

Pada kesempatan yang sama, Plh. Ketua KPU Ilham Saputra menekankan pentingnya para pasangan calon kepala daerah transparan dalam melaporkan penggunaan dana kampanye. Pasalnya menurut Ilham, dana kampanye rawan dipergunakan sebagai peruntukan lain seperti pencucian uang. Para calon yang terbukti melakukan pelanggaran dana kampanye seperti ketentuan batasan minimal dan maksimal kampanye dapat dikenakan sanksi diskualifikasi.

uang

"Menurut UU bisa didiskualifikasi apakah ada pelanggaran dengan jumlah minimal dana kampanye atau maksimal. Bawaslu akan melakukan pengawasan," tukasnya.***

Posting Komentar