PNS Banyak " Bermain Politik " di Pilkada

PNS yang sekarang termasuk sebagai bagian Aparatur Sipil Negara (ASN), selalu disebut-sebut di setiap menjelang digelarnya Pemilu. Terutama Pemilu Kepala Daerah (Pilkada).

Begitu juga menjelang Pilkada 2020, PNS kembali menjadi obyek pembicaraan. Beragam narasumber dari berbagai latar belakang profesi seakan sepakat.

Sepakat bahwa PNS dilarang berpolitik. Naif.

Pendapat hanya mengekor pada Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pasal ini menuntut ASN bersikap netral (berpolitik).

Tidak boleh berpihak ke pihak manapun. Bahkan, berfoto bersama calon kepala daerah pun dilarang keras. Wow.

Jika melanggar, sudah disiapkan sanksinya. Dari sanksi sedang hingga berat.

Dari ancaman penurunan pangkat setingkat hingga tiga tingkat. Kesannya, ya, kesannya keras dan tegas.

Foto ilustrasi saja

Faktanya, sejak UU itu diterbitkan hingga sekarang belum pernah ada ASN yang kena sanksi karena pasal itu. Kalau ada pun akan dilaksanakan diam-diam.

Sama seperti diam-diam saat ada pemberhentian ASN. Beda dengan di TNI dan Polri, setiap pemberhentian dilaksanakan secara terbuka dengan apel.

Jika ukuran profesionalitas diukur dari keterbukaan, silahkan nilai sendiri.

Ambigu UU ASN

Pastinya, larangan ASN berpolitik di UU ASN justru dibantah di UU itu sendiri.

Meski tidak disebut dengan kalimat yang jelas. Namun, di pasal 53 huruf d dan f, dinyatakan kewenangan gubernur dan bupati/wako sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Pejabat Pembina Kepegawaian, adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN.

Siapapun tahu, bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara politik.

Alangkah naifnya, jika kepala daerah yang dipilih secara politik tidak mempromosikan ASN yang sudah membantunya.

Atau, ASN yang dari sanak familinya dan atau dari lingkaran orang-orang di luar pemerintahan yang sudah mendukungnya saat Pilkada.

Seperti dari sekitar partai politik atau dari tokoh-tokoh warga yang sudah ikut berjuang mendudukkannya sebagai kepala daerah.

Jadi, jangan heran jika ada ASN baru seumur jagung sudah menduduki jabatan mentereng.

Jangan kaget juga melihat pegawai senior yang taat aturan, rajin dan cerdas, tapi tak berganjak dari posisinya. Tidak terpakai.

Jangan shock juga jika tiba-tiba ada ASN dari daerah lain langsung dapat jabatan empuk.

Jangan katrok juga melihat pejabat eselon II di kursi basah tiba-tiba bergeser ke tempat kering.

Salahnya si pejabat itu pun tidak ada. Selain karena takdirnya sebagai famili dari pesaing kepala daerah yang berkuasa.

Karena itu, seperti judul tulisan di atas, PNS wajib berpolitik! Jika ingin tetap eksis sebagai pejabat di pemerintahan.

Jika ingin tetap bersikap netral, jangan kecil hati jika diloncati ASN seumur jagung. Atau, menjadi bawahan dari bekas anak buahnya.

Wajib berpolitik tentunya tidak dengan cara yang lugu. Tidak harus memakai baju partai, tidak juga harus ikut ke sana kemari.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan, agar bisa ikut berpolitik. Kalau disebut di sini sama saja mengajar ikan berenang.

Solusi Agar ASN Tidak Berpolitik

Meski situasi saat ini mewajibkan ASN yang ingin eksis, untuk berpolitik. Namun, sejatinya ASN memang tidak dibenarkan untuk berpolitik.

Untuk saat ini hanya ada satu cara, untuk membuat ASN tidak berpolitik. Caranya, ubah pasal-pasal di semua UU yang menyatakan kepala daerah adalah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Selain untuk mendudukkan ASN netral, fungsi PPK seharusnya milik Sekretaris Daerah (Sekda), Sekjen dan pejabat karir yang selevel.

Pejabat politik seperti kepala daerah atau menteri, harus dilepaskan dari campur tangan atau intervensi ke urusan ASN.

Wacana pengubahan pasal PPK adalah kepala daerah, bahkan sudah dibahas oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi, menyampaikan wacana itu di sebuah forum diskusi terbatas.

Diskusi itu bertajuk, Pentingnya Peran ASN Sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa. Dan, diwartakan di portal KASN.go.id, 18 Juli 2019.

Hingga kini, wacana tersebut masih tetap wacana di atas kertas. Belum ada informasi kelanjutan dari diskusi tersebut.

Jauh sebelum KASN risau, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, sudah menyampaikan hal senada, Senin (5/2/2018).

Menurut Robert, yang menjadi penyebab utama tidak netralnya ASN khususnya di daerah, adalah kepala daerah. Yang diberi kewenangan sebagai PPK.

Kewenangan super itu, membuat setiap ASN yang ingin punya jabatan rela melakukan segalanya untuk kepala daerah.

Jadi, selama pasal yang memberi kewenangan sebagai PPK kepada kepala daerah belum dicabut, setiap ASN wajib berpolitik. Dengan catatan, yang ingin punya jabatan bagus.

Silahkan melakukan apa saja, asal jangan sampai menggadaikan harga diri. Apalagi, sampai menjual diri. Semoga.**

Posting Komentar